Bank BTN News

17-06-2009 12:59:23
Pengembang Bersiap Mencabut Subsidi Bunga

Ali Imron Hamid


JAKARTA. Langkah beberapa bank yang kembali memangkas bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) membuat pengembang girang. Sebab, penurunan bunga ini akan membuat pasar properti kembali marak. Mereka pun akan lebih leluasa meramu strategi pemasaran.

Mulai 1 Juli nanti, Bank Tabungan Negara (BTN) memang akan kembali memangkas bunga kredit, termasuk KPR, sekitar 0,5%-2%. Sebelumnya, Bank Central Asia (BCA) telah menurunkan bunga KPR menjadi sekitar 12%.

Para pengembang dan pengamat properti yakin, dalamtiga bulan mendatang, bank-bank yang lain juga akan menempuh hal yang sama. Nah, jika bank menurunkan bunga KPR iagi, pengembang optimistis penjualan properti akan meningkat tajam. Tren kenaikan penjualan akan semarak pada akhir September atau kuartal ketiga nanti," kata Direktur Indonesian Property Watch, Ali Tranghanda.

Saat itu, Ali meramal, permintaan terhadap KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) akan meningkat 25%. Syaratnya, bunga sudah berada di level 9,5%-10,5%, turun dari rata-rata bunga KPR saat ini yang sebesar 12%-13%.

Sejumlah pengembang pun telah bersiap menempuh strategi baru untuk menyambut penurunan bunga KPR itu. Salah satunya, mereka akan mencabut potongan bunga KPR yang selama ini sering mereka sebut sebagai subsidi bunga


"Kami akan menyesuaikan besaran bunganya," kata Direktur Marketing PT Agung Podomoro Group (APG) Indra Wyaya Antono. Kini, APG masih memberi subsidi bunga sekitar 2% dari tarif resmi yang berlaku. Namun, subsidi ini hanya berlaku untuk kredit selama setahun.

Lippo Group juga bersiap mencabut subsidi bunga pada beberapa proyek apartemen yang sedang mereka bangun. Di antaranya menara The Infinity di Kemang Village. Tentu akan ada program baru apabila kreditnya sudah murah," kata Direktur Marketing Kemang Village Joppy Rusli.

Meski subsidi bunga telah dicabut, para pengembang yakin, tren bunga KPR yang semakin murah akan membuat minat konsumen menengah atas membeli hunian properti untuk investasi meningkat. "Ini saat yang tepat bagi mereka untuk membeli properti," ujar Indra. (Kontan)


(BTN)


Sumber:
http://www.btn.co.id/berita.asp?action=BL&intNewsID=1161

Hukum

Senin, 17/08/2009 | 15:17
ICW: Indonesia Belum Merdeka dari Korupsi

Buktinya, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang korup di dunia. "Di bidang korupsi kita masih terpuruk."


ICW: Indonesia Belum Merdeka dari Korupsi

Senin, 17 Agustus 2009 | 15:17 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko menilai Indonesia belum merdeka dari jajahan korupsi. Buktinya, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang korup di dunia. "Di bidang korupsi kita masih terpuruk," kata Danang, lewat sambungan telepon, Senin(17/8).

Danang sependapat dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi Haryono Umar yang menyatakan korupsi di Indonesia masih terjadi di mana-mana. "Tidak mudah bagi KPK berjuang memberantas korupsi di Indonesia." ujarnya.

Sebelumnya, Haryono mengatakan Republik Indonesia yang berulang tahun ke-64 belum merdeka dari korupsi. "Korupsi masih terjadi dimana-mana berkaitan dengan pelayanan publik, indeks persepsi korupsi, itu yang menunjukkan kita sama sekali belum terbebas dari korupsi," ujar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi bidang Pencegahan, Haryono Umar, di Gedung KPK, pagi tadi (17/8).

Menurut Haryono, Indonesia masih dipandang sebagai negara yang korup, terutama dalam hal pelayanan publik. Hingga saat ini, tambah Haryono, Indonesia masih berkutat pada persoalan kemiskinan dan kemanan. "Masyarakat dan dunia usaha menganggap Indonesia sebagai negara korupsi," ujarnya.

Danang setuju dengan langkah KPK yang akan memberi pembekalan tentang korupsi kepada anggota DPR periode 2009-2014. "Agar mereka tidak mengulangi kesalahan DPR sebelumnya," ujarnya. Apalagi, kata dia, DPR akan diisi oleh wajah-wajah baru, hanya sekitar 30 persen anggota DPR terpilih lagi.

KPK, lanjut Danang harus menjelaskan sebagai pejabat publik anggota DPR tidak boleh menerima suap. Dia mengingatkan hampir semua anggota DPR yang ditangkap KPK menerima suap. Anggota DPR yang masuk bui gara-gara suap diantaranya Al Amin Nur Nasution, Bulyan Royan, Abdul Hadi Djamal. Dia mengatakan anggota DPR itu juga harus diingatkan mengenai kewajiban melaporkan ke KPK setiap menerima gratifikasi. "Menerima sesuatu nilainya diatas Rp 10 juta harus lapor KPK," ujar dia.


SUTARTO


Sumber:
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/08/17/brk,20090817-192927,id.html

Teknologi

Memilah Komentar dari Pengunjung Blog
Jumat, 14 Agustus 2009 | 11:20 WIB


Sumber: PCplus



Blog yang mempunyai banyak pengunjung, tentu punya banyak komentator di dalamnya. Kadangkala kita susah membedakan mana komentar pengunjung dan mana komentar penulis blog yang ditujukan untuk menanggapi komentar orang lain.

Ada cara untuk membuat komentar penulis berbeda dengan komentar lainnya, yakni memberi highlight komentar dari penulis artikel. Begini caranya.

1. Ubah tema kita untuk menambah style “authcomment” pada css
Tambahkan class berikut ini :
.authcomment {
background-color: #B3FFCC !important;
}
2. Edit file comments.php untuk menambah sedikit kode.
File comments.php biasanya mempunyai konten seperti berikut:
  • ” id=”comment…

    Ubahlah menjadi seperti berikut:
  • /* Only use the authcomment class from style.css if the user_id is 1 (admin) */
    if (1 == $comment->user_id)
    $oddcomment = “authcomment”;
    echo $oddcomment;
    ?>” id=”comment…

    Itu saja. Sekarang kita akan punya warna berbeda untuk komentar yang kita buat sehingga dapat dibedakan dengan komentar dari pengunjung, meskipun mungkin menggunakan username sama.



    Sumber:
    http://tekno.kompas.com/read/xml/2009/08/14/1120042/memilah.komentar.dari.pengunjung.blog

  • Ekonomi

    Kemandirian Ekonomi Sebatas Mimpi
    Minggu, 16 Agustus 2009 | 00:45 WIB

    Oleh: Djauhari Effendi

    Tema itu lagi-lagi dikumandangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Ke 64 di gedung DPR RI, Jumat (14/8).

    SBY berjanji, pemerintah ke depan akan lebih memperkuat ekonomi dalam negeri maupun pasar dalam negeri sebagai sumber pertumbuhan nasional, tidak boleh hanya menggantungkan kekuatan ekspor.

    "Strategi yang hanya bersifat export oriented tentu bukanlah pilihan kita," kata Presiden.

    Kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi tertentu harus terus diperkuat, terutama pangan dan energi. Ekonomi nasional mesti dikembangkan berdasarkan keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif.

    "Diperlukan ekonomi nasional yang dilandasi mekanisme pasar untuk efisiensi, tetapi juga memberikan ruang bagi peran pemerintah yang tepat untuk menjamin keadilan," katanya.

    Janji itu serasa tak akan berarti jika fakta di lapangan malah menujukkan sebaliknya. Sebab sampai kini kita belum sepenuhnya berhasil menjadi suatu bangsa yang mandiri. Simak saja, setidaknya tiga sektor yang menggambarkan keterkungkungan ekonomi dalam negeri, yaitu masalah pangan, energi, dan masalah keuangan.

    Dalam bidang pangan, ketergantungan akan produk luar negeri masih dominan, mulai dari gandum, kedelai sampai susu sekalipun. Sementara liberalisasi di sektor energi, tak hanya membuat ladang-ladang minyak dan gas nasional di dominasi asing melalui kontrak karya, namun juga merambah sampai sektor hilir, dimana sebentar lagi kita akan melihat puluhan bahkan ratusan SPBU asing beroperasi di sini.

    Di sektor keuangan khususnya perbankan, kepemilikan asing sudah mulai mendekati angka berimbang dengan perbankan lokal dan BUMN.

    Kini, kurang lebih 40% aset perbankan sudah berpindah menjadi milik asing, setelah kepemilikan bank oleh asing diberbolehkan hingga 99% pada 1998.

    Dari sisi makro ekonomi, pengamat kebijakan publik Ichsanurdin Noorsy juga mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi bangsa Indonesia.

    Ia melihat keterjajahan itu dari dominannya paradigma utang luar negeri sebagai indikator pembangunan pada pemerintah saat ini. Paradigma tersebut merupakan upaya pelanggengan kekuasaan dari pemerintahan saat ini yang dipegang oleh kalangan pengusaha. "Dengan bahasa saya, pemerintah Republik Indonesia menyetujui kekuatan di dalam negeri ditentukan oleh kekuatan modal di luar negeri, " tandasnya.

    Saat ini posisi utang luar negeri sebesar 147,78 juta dollar AS per triwulan I 2009 atau dengan rasio terhadap GDP sebesar 29,1%. Angka ini sering disebut sebuah pencapaian yang aman dan telah berhasil menurunkan besarannya secara konsisten dibanding tahun tahun sebelumnya. Namun bila dilihat dari indikator DSR (debt service ratio), angkanya meningkat dari 19,4% pada 2007 menjadi 25,5% pada 2008. Ini menunjukkan tekanan yang makin berat terhadap kesinambungan fiskal, dan dengan demikian sangat riskan terhadap upaya membangun ketahanan ekonomi.

    Direktur Eksekutif Indef M Ikhsan Modjo bahkan menilai, nasionalisme ekonomi sedikit banyak sudah terkikis saat ini. Ini ditandai aset-aset kita dijual kepada pihak asing. Banyak dari penjualan ini, tidak lebih dari sekadar upaya menjual aset untuk kepentingan segelintir orang, sehingga sangat berbahaya.

    Di sisi lain, nasionalisme ekonomi jangan diartikan secara sempit, yakni pengelolaan aset-aset strategis sekadar diberikan kepada pihak domestik, walau bisa jadi pihak domestik itu tidak lain dan tidak bukan adalah segelintir pengusaha tertentu yang mendapatkan fasilitas dan permodalan sesungguhnya dari pihak asing juga.

    Pembangunan nasionalisme ekonomi bisa dibina dengan membangun pribadi unggul, yang siap berkompetisi baik di dalam maupun di luar. Dengan adanya prbadi-pribadi unggul. Nasionalisme ekonomi ke depan akan mendapatkan satu kerangka yang lebih kuat dan mampu menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi yang menyejahterakan semua di masa depan.

    Pembalikan Paradigma

    Terkait memanfaatkan kekuatan ekonomi dalam negeri pemerintah pun harus memberikan insentif bagi para pengusaha dan pelaku industri. "Jangan hanya mengimbau," kata ekonom Indef Aviliani.

    Pemerintah saat ini telah membalikkan paradigma ekonomi yang dulu melihat ke luar dan saat ini berbalik ke dalam negeri. "Berbagai negara sekarang melakukan inward looking (melihat ke dalam) dengan melakukan proteksi dan itu akan diikuti Indonesia," katanya.

    Dengan kondisi saat ini, di mana perekonomian yang sudah terlanjur berorientasi global dengan berbagai penerapan pajak yang kecil bahkan nol persen memang susah untuk merubah paradigma tersebut.

    Namun, pemerintah harus mulai memikirkan dan memperhitungkan kembali kebijakan perindustrian dan perdagangan untuk melihat kembali kemampuan dari dalam negeri.

    Salah satu strategi yang perlu diterapkan misalnya menambah kesempatan di dalam negeri dan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga mampu menyerap berbagai produk yang dihasilkan dari dalam negeri.

    "Untuk itu perlu insentif fiskal dan penyediaan anggaran dari APBN untuk mendukung program ini," harap Aviliani.

    Insentif ini diberikan kepada pelaku yang bisa memanfaatkan berbagai bahan baku dari dalam negeri dan bisa mengembangkan pasar domestik.

    Dengan kondisi ini, menurut Aviliani, apa yang diharapkan presiden tentang kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi tertentu harus terus diperkuat, terutama pangan dan energi bisa akan terwujud.

    Ketahanan Ekonomi

    Soal daya tahan ekonomi suatu negara tak pernah menemukan formulasinya yang utuh. Banyak vairabel makro dan global berinteraksi satu sama lain, yang pengaruhnya tidak bisa didefinisikan secara sahih terhadap suatau kejadian guncangan ekonomi. Ini juga membaca wacana yang terkadang sulit dipertemukan antara pertimbangan akademik (teknokratik) dengan pertimbangan pennyusunan kebijakan. Di sisi lain pandangan pelaku pasar cenderung lebih pragmatis dan dinamis dalam menilai ketahanan ekonomi suatu negara.

    Meski demikian ada sejumlah indikator yang bisa dijadikan referensi terkait dengan ketahanan ekonomi. Ahmad Erani Yustika dan M Ikhsan Mojo dari Tim Indef merekomendasikan sejumlah hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, ketahanan dan kesinambungan fiskal. Kritik terhadap indikator utama ketahanan (soundness) dan kesinambungan (sustainability) fiskal berupa rasio utang pemerintah (public debt) terhadap GDP banyak dilontarkan kalangan akademisi maupun praktisi. Indikator ini banyak mendatangkan missleading dalam mengukur sejauh mana kemampuan negara dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keuangannya.

    Kedua, pengendalian defisit anggaran. Dimana defisit anggaran terkendali harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara, bukan pada sisi pengeluaran. Karena itu indikator yang harus dicermati adalah neraca pembayaran yang harus ditopang peningkatan fundamental ekonomi, utamanya ekspor dan investasi langsung. Ini berimplikasi pada tuntutan kebijakan yang terintegrasi dengan implementasi sektoral yang terkoordinasi.

    Di tengah ketidakpastian lingkungan eksternal saat ini, upaya peningkatan ekspor harus diarahkan pada dua pendekatan, yaitu diversifikasi komoditas dan tujuan ekspor. Struktur industri harus dibangun di atas kekuatan domestik yang berorientasi ekspor. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong ketahanan sektor moneter melalui penumpukan devisa, meredam volatilitas mata utang (nilai tukar dan inflasi) serta besaran suku bunga yang realistis.

    Ketiga, pengendalian suku bunga, dimana suku bunga tinggi sangat riskan mengancam ketahanan ekonomi masalahnya adalah sejauh mana sebuah negara mampu menekan inflasi sehingga dapat menurunkan suku bunga pinjaman dan memelihara preferensi investor.

    Muaranya adalah sejauh mana sektor riil bertumbuh dan menghasilkan nilai tambah ekonomi. Sepanjang sektor riil tidak bangkit, maka skenario inflation targeting dalam kerangka kebijakan moneter akan mandul dan transmisi suku bunga acuan ke suku bunga komersial tidak akan efektif.

    Keempat, ketahanan sektor keuangan, dimana sektor ini menjadi pintu masuknya terjadinya guncangan ekonomi. Ketahanan sekto keuangan berkait dengan fungsi fungsi pendanaan, investasi dan likuiditas secara efektif dan esifien termasuk penerapan maanajemen berbasis risiko di lembanga lembaga keuangan maupun perbankan. Kegagalan sistem dan fungsi keuangan/perbankan dapat menimbulkan risiko ekonomi mendalam.

    Kelima, ketidakpastian eksternal. Penulihan ekonomi negara maju pasca krisis global, masih dipertanyakan efektifitasnya, kapan, secapat apa dan dampaknya bagi keuangan negara negara dengan dampak terbesar akibat krisis. meski berbagai sumber menyebut perekonomian AS mulai pulih 2010, namun fenomena mutakhir yang terjadi makin menunjukkan kesanksian itu. pengangguran makin meningkat dan banyak korporasi menutup usahanya.

    Bagi perekonomian nasional, yang patut diwaspadai adalah aliran investasi portofolio yang dapat menganggu neraca modal dan finansial bilamana terjadi pembalikan pasar. Kondisi ekonomi nasional yang relatif tidak terkena dampak krisis finansial global menjadi incaran para fund manager asing. Di sisi lain keadaaan ini dapat dimanfaatkan untuk menggenjot investasi langsung dan penguatan ekspor.*




    Sumber:
    http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=c746c52c4c3f89696680731b2f46e563&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5

    Kemandirian Ekonomi Sebatas Mimpi

    Kemandirian Ekonomi Sebatas Mimpi
    Minggu, 16 Agustus 2009 | 00:45 WIB


    Oleh: Djauhari Effendi

    Tema itu lagi-lagi dikumandangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Ke 64 di gedung DPR RI, Jumat (14/8).

    SBY berjanji, pemerintah ke depan akan lebih memperkuat ekonomi dalam negeri maupun pasar dalam negeri sebagai sumber pertumbuhan nasional, tidak boleh hanya menggantungkan kekuatan ekspor.

    "Strategi yang hanya bersifat export oriented tentu bukanlah pilihan kita," kata Presiden.

    Kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi tertentu harus terus diperkuat, terutama pangan dan energi. Ekonomi nasional mesti dikembangkan berdasarkan keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif.

    "Diperlukan ekonomi nasional yang dilandasi mekanisme pasar untuk efisiensi, tetapi juga memberikan ruang bagi peran pemerintah yang tepat untuk menjamin keadilan," katanya.

    Janji itu serasa tak akan berarti jika fakta di lapangan malah menujukkan sebaliknya. Sebab sampai kini kita belum sepenuhnya berhasil menjadi suatu bangsa yang mandiri. Simak saja, setidaknya tiga sektor yang menggambarkan keterkungkungan ekonomi dalam negeri, yaitu masalah pangan, energi, dan masalah keuangan.

    Dalam bidang pangan, ketergantungan akan produk luar negeri masih dominan, mulai dari gandum, kedelai sampai susu sekalipun. Sementara liberalisasi di sektor energi, tak hanya membuat ladang-ladang minyak dan gas nasional di dominasi asing melalui kontrak karya, namun juga merambah sampai sektor hilir, dimana sebentar lagi kita akan melihat puluhan bahkan ratusan SPBU asing beroperasi di sini.

    Di sektor keuangan khususnya perbankan, kepemilikan asing sudah mulai mendekati angka berimbang dengan perbankan lokal dan BUMN.

    Kini, kurang lebih 40% aset perbankan sudah berpindah menjadi milik asing, setelah kepemilikan bank oleh asing diberbolehkan hingga 99% pada 1998.

    Dari sisi makro ekonomi, pengamat kebijakan publik Ichsanurdin Noorsy juga mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi bangsa Indonesia.

    Ia melihat keterjajahan itu dari dominannya paradigma utang luar negeri sebagai indikator pembangunan pada pemerintah saat ini. Paradigma tersebut merupakan upaya pelanggengan kekuasaan dari pemerintahan saat ini yang dipegang oleh kalangan pengusaha. "Dengan bahasa saya, pemerintah Republik Indonesia menyetujui kekuatan di dalam negeri ditentukan oleh kekuatan modal di luar negeri, " tandasnya.

    Saat ini posisi utang luar negeri sebesar 147,78 juta dollar AS per triwulan I 2009 atau dengan rasio terhadap GDP sebesar 29,1%. Angka ini sering disebut sebuah pencapaian yang aman dan telah berhasil menurunkan besarannya secara konsisten dibanding tahun tahun sebelumnya. Namun bila dilihat dari indikator DSR (debt service ratio), angkanya meningkat dari 19,4% pada 2007 menjadi 25,5% pada 2008. Ini menunjukkan tekanan yang makin berat terhadap kesinambungan fiskal, dan dengan demikian sangat riskan terhadap upaya membangun ketahanan ekonomi.

    Direktur Eksekutif Indef M Ikhsan Modjo bahkan menilai, nasionalisme ekonomi sedikit banyak sudah terkikis saat ini. Ini ditandai aset-aset kita dijual kepada pihak asing. Banyak dari penjualan ini, tidak lebih dari sekadar upaya menjual aset untuk kepentingan segelintir orang, sehingga sangat berbahaya.

    Di sisi lain, nasionalisme ekonomi jangan diartikan secara sempit, yakni pengelolaan aset-aset strategis sekadar diberikan kepada pihak domestik, walau bisa jadi pihak domestik itu tidak lain dan tidak bukan adalah segelintir pengusaha tertentu yang mendapatkan fasilitas dan permodalan sesungguhnya dari pihak asing juga.

    Pembangunan nasionalisme ekonomi bisa dibina dengan membangun pribadi unggul, yang siap berkompetisi baik di dalam maupun di luar. Dengan adanya prbadi-pribadi unggul. Nasionalisme ekonomi ke depan akan mendapatkan satu kerangka yang lebih kuat dan mampu menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi yang menyejahterakan semua di masa depan.

    Pembalikan Paradigma

    Terkait memanfaatkan kekuatan ekonomi dalam negeri pemerintah pun harus memberikan insentif bagi para pengusaha dan pelaku industri. "Jangan hanya mengimbau," kata ekonom Indef Aviliani.

    Pemerintah saat ini telah membalikkan paradigma ekonomi yang dulu melihat ke luar dan saat ini berbalik ke dalam negeri. "Berbagai negara sekarang melakukan inward looking (melihat ke dalam) dengan melakukan proteksi dan itu akan diikuti Indonesia," katanya.

    Dengan kondisi saat ini, di mana perekonomian yang sudah terlanjur berorientasi global dengan berbagai penerapan pajak yang kecil bahkan nol persen memang susah untuk merubah paradigma tersebut.

    Namun, pemerintah harus mulai memikirkan dan memperhitungkan kembali kebijakan perindustrian dan perdagangan untuk melihat kembali kemampuan dari dalam negeri.

    Salah satu strategi yang perlu diterapkan misalnya menambah kesempatan di dalam negeri dan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga mampu menyerap berbagai produk yang dihasilkan dari dalam negeri.

    "Untuk itu perlu insentif fiskal dan penyediaan anggaran dari APBN untuk mendukung program ini," harap Aviliani.

    Insentif ini diberikan kepada pelaku yang bisa memanfaatkan berbagai bahan baku dari dalam negeri dan bisa mengembangkan pasar domestik.

    Dengan kondisi ini, menurut Aviliani, apa yang diharapkan presiden tentang kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi tertentu harus terus diperkuat, terutama pangan dan energi bisa akan terwujud.

    Ketahanan Ekonomi

    Soal daya tahan ekonomi suatu negara tak pernah menemukan formulasinya yang utuh. Banyak vairabel makro dan global berinteraksi satu sama lain, yang pengaruhnya tidak bisa didefinisikan secara sahih terhadap suatau kejadian guncangan ekonomi. Ini juga membaca wacana yang terkadang sulit dipertemukan antara pertimbangan akademik (teknokratik) dengan pertimbangan pennyusunan kebijakan. Di sisi lain pandangan pelaku pasar cenderung lebih pragmatis dan dinamis dalam menilai ketahanan ekonomi suatu negara.

    Meski demikian ada sejumlah indikator yang bisa dijadikan referensi terkait dengan ketahanan ekonomi. Ahmad Erani Yustika dan M Ikhsan Mojo dari Tim Indef merekomendasikan sejumlah hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, ketahanan dan kesinambungan fiskal. Kritik terhadap indikator utama ketahanan (soundness) dan kesinambungan (sustainability) fiskal berupa rasio utang pemerintah (public debt) terhadap GDP banyak dilontarkan kalangan akademisi maupun praktisi. Indikator ini banyak mendatangkan missleading dalam mengukur sejauh mana kemampuan negara dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keuangannya.

    Kedua, pengendalian defisit anggaran. Dimana defisit anggaran terkendali harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara, bukan pada sisi pengeluaran. Karena itu indikator yang harus dicermati adalah neraca pembayaran yang harus ditopang peningkatan fundamental ekonomi, utamanya ekspor dan investasi langsung. Ini berimplikasi pada tuntutan kebijakan yang terintegrasi dengan implementasi sektoral yang terkoordinasi.

    Di tengah ketidakpastian lingkungan eksternal saat ini, upaya peningkatan ekspor harus diarahkan pada dua pendekatan, yaitu diversifikasi komoditas dan tujuan ekspor. Struktur industri harus dibangun di atas kekuatan domestik yang berorientasi ekspor. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong ketahanan sektor moneter melalui penumpukan devisa, meredam volatilitas mata utang (nilai tukar dan inflasi) serta besaran suku bunga yang realistis.

    Ketiga, pengendalian suku bunga, dimana suku bunga tinggi sangat riskan mengancam ketahanan ekonomi masalahnya adalah sejauh mana sebuah negara mampu menekan inflasi sehingga dapat menurunkan suku bunga pinjaman dan memelihara preferensi investor.

    Muaranya adalah sejauh mana sektor riil bertumbuh dan menghasilkan nilai tambah ekonomi. Sepanjang sektor riil tidak bangkit, maka skenario inflation targeting dalam kerangka kebijakan moneter akan mandul dan transmisi suku bunga acuan ke suku bunga komersial tidak akan efektif.

    Keempat, ketahanan sektor keuangan, dimana sektor ini menjadi pintu masuknya terjadinya guncangan ekonomi. Ketahanan sekto keuangan berkait dengan fungsi fungsi pendanaan, investasi dan likuiditas secara efektif dan esifien termasuk penerapan maanajemen berbasis risiko di lembanga lembaga keuangan maupun perbankan. Kegagalan sistem dan fungsi keuangan/perbankan dapat menimbulkan risiko ekonomi mendalam.

    Kelima, ketidakpastian eksternal. Penulihan ekonomi negara maju pasca krisis global, masih dipertanyakan efektifitasnya, kapan, secapat apa dan dampaknya bagi keuangan negara negara dengan dampak terbesar akibat krisis. meski berbagai sumber menyebut perekonomian AS mulai pulih 2010, namun fenomena mutakhir yang terjadi makin menunjukkan kesanksian itu. pengangguran makin meningkat dan banyak korporasi menutup usahanya.

    Bagi perekonomian nasional, yang patut diwaspadai adalah aliran investasi portofolio yang dapat menganggu neraca modal dan finansial bilamana terjadi pembalikan pasar. Kondisi ekonomi nasional yang relatif tidak terkena dampak krisis finansial global menjadi incaran para fund manager asing. Di sisi lain keadaaan ini dapat dimanfaatkan untuk menggenjot investasi langsung dan penguatan ekspor.*


    Berita Terkait
    Bahasa Adalah Kepribadian Bangsa
    Perekonomian yang Masih Terjajah
    Sidang Terhormat Itu Tanpa Indonesia Raya
    Demi Kejayaan Indonesia
    TimVerifikasi Tak Tegas


























    7




    Sumber:
    http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=c746c52c4c3f89696680731b2f46e563&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5

    KLIPING PERS

    .



    Blog ini memuat (kompilasi, kutipan, scan draft) tentang:
    Kumpulan Informasi
    dari Berbagai Media Massa Dalam dan Luar Negeri




    https://klipingpers.blogspot.com/

    Email:
    klipingpers@gmail.com


    Pihak / khalayak yang keberatan atas pemuatan artikel / opini / foto / dll yang kami muat dalam blog ini, dapat menghubungi kami via email.

    Terima kasih
    Red.


    .