Pemkot Tak Serius dalam Pelaksanaan Perda Antirokok

Minggu, 25 Oktober 2009


Pemkot Tak Serius dalam Pelaksanaan Perda Antirokok

SURABAYA - Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) tidak berjalan efektif. Baru tiga hari pelaksanaan Perda Antirokok tersebut, pemkot sudah melempem. Masih sangat mudah menjumpai warga yang merokok di tempat yang mestinya bebas asap rokok.

Sebagian besar publik Surabaya tidak mengetahui adanya Perda Antirokok itu. Bahkan, sebagian PNS di lingkungan pemkot acuh tak acuh dengan keberadaan perda tersebut. Itu menunjukkan sosialisasi yang dilakukan pemkot sangat lemah. Publikasi terhadap perda tersebut sangat minim. Akibatnya, gaung pelaksanaan perda itu sama sekali tidak terasa.

Pantauan Jawa Pos di Stasiun Gubeng, Stasiun Pasar Turi, Terminal Purabaya, Terminal Tambak Oso Wilangun, Pelabuhan Ujung, dan Bandara Juanda menunjukkan betapa perda yang disahkan sejak setahun lalu itu tidak dianggap oleh masyarakat. Di tempat-tempat tersebut, perokok kembali ke kebiasaan semula. Ruang khusus merokok kembali sepi. Mereka bebas merokok di area publik tanpa ditegur sama sekali oleh petugas.

Penumpang kendaraan umum juga tanpa sungkan merokok. Mereka beralasan, asap rokok bisa langsung menghilang melalui jendela ketika kendaraan berjalan. ''Kalau di kendaraan kelas ekonomi, sudah biasa ada yang merokok,'' ujar Irwan Budianto, salah seorang penumpang yang saat itu berada di ruang tunggu keberangkatan Purabaya.

Lebih aneh lagi, mulai sore, ruang khusus merokok di Terminal Purabaya dikunci. Karena itu, calon penumpang tidak bisa merokok di ruang tersebut. Akibatnya, mereka merokok di ruang tunggu bus. Petugas terminal pun membiarkan saja, seolah tidak ada yang salah.

Menanggapi hal tersebut, Kepala UPTD terminal Purabaya May Ronald menyatakan bimbang untuk menerapkan perda tersebut. Sebab, terminal yang dikelolanya berada di kawasan hukum Sidoarjo. ''Sedangkan, Sidoarjo belum memiliki Perda Antirokok seperti Surabaya,'' urainya. ''Kalau tidak dilaksanakan, berarti kami tidak menghormati wali kota Surabaya,'' lanjutnya.

Padahal, pihaknya telah menyiapkan berbagai cara untuk mendukung berlakunya perda tersebut. Misalnya, memberikan tanda dilarang merokok dan menggiatkan kembali ruang khusus perokok yang ada di tempatnya. ''Kami tetap mendukung perda tersebut. Sebab, tujuannya untuk kebaikan umum,'' tegasnya.

Ucapan berbeda muncul dari humas PT KA Daops 8 Nur Amin. Dia menilai, usaha yang dilakukan instansinya -seperti menambah tanda larangan merokok dan menyediakan ruang khusus merokok- tidak disambut hangat perokok. ''Lihat saja tulisan ruang khusus merokok yang kami buat. Sangat besar dan mustahil orang tidak bisa membacanya,'' jelasnya.

Meski demikian, pihaknya tidak akan menyerah untuk mendukung perda tersebut. Ke depan, pihaknya akan melakukan rapat khusus dengan pimpinan untuk menertibkan perokok yang sekarang masih bebas berkeliaran di stasiun. ''Apalagi perda sudah berjalan,'' imbuhnya. ''Yang penting aplikasinya. Jangan sampai peraturan itu sebatas tekad yang tidak bisa direalisasikan,'' imbuhnya.

Masih banyaknya pelanggaran Perda Antirokok disoroti Center for Religious and Community Studies (CeRCS). Direktur CeRCS Nur Jannah menuding banyaknya pelanggaran tersebut sebagai akibat ketidakseriusan pemkot dalam melaksanakan perda. Digunakannya ruang khusus merokok di Balai Kota sebagai tempat menyimpan alat drum band menjadi bukti yang sangat nyata dari ketidakseriusan pemkot.

Pantauan yang dilakukan CeRCS juga menyebutkan, masih banyak ditemukan instansi pemerintahan yang belum memasang tanda larangan merokok. Kondisi itu justru bertolak belakang dengan aturan yang dibuat oleh pemkot tersebut.

Nur Jannah menjelaskan, pemkot seharusnya memberikan contoh yang baik dalam penegakan perda. Namun, dalam praktiknya, pemkot kurang optimal dalam memberlakukan perda tersebut.

Sementara itu, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi memaparkan, apa yang akan diterapkan di Surabaya seharusnya diawali dari internal instansi pemkot. Tulus juga berharap pelaksanaan perda tersebut tidak mandek seperti yang terjadi di Jakarta. "Di sana (Jakarta, Red) perda kurang optimal," ujarnya.

Semangat mengubah dari dalam diri sendiri, menurut Tulus, belum dimiliki oleh pemkot. Karena itu, masyarakat yang terkena aturan tersebut merasa tidak takut dengan sanksi yang akan diberlakukan.

Dia menambahkan, pelanggaran yang dilakukan anggota dewan beberapa waktu lalu juga dianggap sebagai pelecehan aturan. "Bagaimana mau berhasil, aturan itu dilanggar sendiri oleh pembuat perda," ucap Tulus

Pengamat kebijakan publik dari Universitas 17 Agustus (Untag) Sutadi juga menilai Perda Antirokok belum berjalan maksimal. Sebab, kebiasaan merokok sembarangan sudah mendarah daging dalam kehidupan warga metropolis. "Bisa jadi satpol PP yang menegur malah mendapat perlawanan. Wong, mereka belum tahu adanya perda ini," tutur dia.

Apalagi, lanjut Sutadi, sosialisasi yang dilakukan pemkot hanya bersifat formal. "Cuma dikumpulkan dan diberi penjelasan tidak cukup. Perda ini harus diberlakukan sebagai suatu gerakan," ucap pria bergelar doktor di bidang administrasi publik itu.

Sutadi mengemukakan, agar gaung Perda Antirokok terdengar nyaring, pemkot harus lebih banyak melibatkan masyarakat. Menurut dia, gerakan kampanye langsung dari masyarakat untuk masyarakat akan membuat perda itu lebih membumi dan ditaati masyarakat.

Mantan asisten I Sekkota bidang pemerintahan itu mencontohkan masalah penanganan sampah. Sepuluh tahun yang lalu, sampah hanya menjadi perhatian pemerintah. Setelah ada provokasi dari pihak swasta dan masyarakat, pengolahan dan pemilahan sampah malah menjadi tren di metropolis. "Kita bisa meniru pola pemasyarakatan sampah ini untuk Perda Antirokok," ujar dia.

Sutadi meminta pemkot lebih kreatif dalam menyosialisasikan Perda No 5 Tahun 2008 itu. Menurut dia, selama ini, satpol PP hanya menegur masyarakat yang ketahuan merokok. Dia mengimbau agar aparat penegak perda melihat atribut yang digunakan polisi sewaktu kampanye menyalakan lampu di siang hari. "Bisa dicontoh bagaimana mereka menarik perhatian masyarakat dengan menggunakan keplek besar di dada," jelas dia.

Mantan camat Wonokromo itu juga menekankan agar pemberlakuan perda tersebut diawali di lingkungan pemkot terlebih dahulu. Dia menyoroti masih adanya PNS yang tertangkap basah merokok di lingkungan Balai Kota Jalan Jimerto. "Bagaimana mau rakyatnya patuh kalau aparatnya masih nakal gitu," ungkap dia.

Bagaimana respon Pemkot? Penanggung jawab Perda antirokok Esty Martiana Rachmie mengakui adanya permasalahan dalam pelaksanaan Perda Antirokok. Khusus di Bandara Juanda dan Terminal Purabaya, Bungurasih, Esty mengakui keberadaan dua tempat tersebut di wilayah Sidoarjo membuat Perda tidak berjalan maksimal.

Perempuan yang menjabat Kadinkes tidak mau ambil pusing. ''Untuk sementara tidak disentuh Perda terlebih dahulu,'' ujar Esty.

Daripada repot, Esty tampaknya memilih perda yang ditandatangani Wali Kota Bambang D.H itu dilecehkan di kedua fasilitas umum itu. Apalagi pejabat di Terminal Purabaya masuk dalam wilayah Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya yang memiliki garis struktural di bawah wali kota.

Menurut Esty, pihaknya akan melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Pemkab Sidoarjo. Namun, dia tidak tahu pasti kapan koordinasi tersebut akan dilakukan. ''Kami masih konsentrasi menegakkan Perda di Surabaya terlebih dahulu,'' jelasnya.

Menanggapi tudingan bahwa Pemkot tidak serius, dia juga tidak berkomentar banyak karena kenyataannya memang demikian. Esty menilai masih memiliki waktu selama enam bulan ke depan untuk memperbaiki kekurangan itu. Angin segar berhembus ke Dinkes karena Bappeko juga mempersiapkan berbagai infrastruktur baru. ''Bappeko akan mendukung kami. Sisa waktu akan kami genjot untuk bisa melaksanakan Perda itu secara utuh,'' jelasnya.

Meski minim fasilitas, Esty berharap agar warga Metropolis tidak patah arang menjalankan Perda itu. Aturan yang ada harus didukung dengan perilaku perokok untuk tidak merokok sembarangan. ''Bukan berarti tanpa fasilitas perda tidak dilaksanakan,'' tegasnya. (uri/dim/gun/aam/tom)



http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=96983

Belajar di Australia

Belajar di Australia
Akses lembaga pendidikan di Perth Carilah jurusanmu hari ini!
www.pertheducationcity.com.au

Ads by Google

Penulis Muda Belum Memperoleh Perhatian

Minggu, 25 Oktober 2009 | 20:51 WIB



Penulis Muda Belum Memperoleh Perhatian

YOGYAKARTA, KOMPAS.com-Potensi menulis anak-anak dan generasi muda belum banyak memperoleh perhatian. Padahal, potensi kreatif di bidang ini sangat besar dan bisa menjadi jembatan untuk memecahkan berbagai permasalahan remaja.

Besarnya potensi ini terlihat dari karya tulis anak-anak dan generasi muda yang diterbitkan di media massa. Menurut pantauan Persahabatan Wartawan Cilik Yogyakarta (PWCY), setiap bulan anak-anak Yogyakarta menghasilkan antara 30-50 karya tulisan yang tersebar di berbagai media massa baik nasional maupun daerah.

"Bisa jadi dari daerah lain akan lebih besar karena daerahnya lebih luas dan jumlah anak-anaknya juga lebih banyak," kata Pembina PWCY Sutrisno Emry di sela-sela peringatan Sumpah Pemuda 2009 PWCY di kediaman budayawan Alm YB Mangunwijaya, SJ, Sleman, DI Yogyakarta (DIY) , Minggu (25/10).

Sutrisno mengatakan, besarnya potensi kreatif pada anak-anak itu belum banyak diketahui masyarakat. Hal ini salah satunya terlihat dari masih minimnya penghargaan untuk penulis anak-anak maupun remaja. Padahal, kegiatan menulis bisa menjadi sarana pendidikan karakter dan mengembangkan kreatifitas anak-anak.

Selain itu, tulisan mereka juga bisa menjadi jembatan orang dewasa untuk memahami permasalahan generasi muda. Meskipun temanya beragam, tulisan anak-anak tersebut umumnya mengungkapkan pandangan dan pengalaman pribadi anak-anak dengan spontan dan jujur.

Pada peringatan Sumpah Pemuda 2009 yang berlangsung 24-28 Oktober tersebut , PCWY dengan dukungan Dinamika Edukasi Dasar, Pemerintah Daerah DIY, dan Kabupaten Sleman berusaha menghimpun sekitar 30 penulis generasi muda dari Yogyakarta yang sudah pernah menerbitkan karyanya. Usia mereka berkisar dari 10-20 tahun atau dari kelas IV SD hingga mahasiswa tingkat pertama.

Sutrisno mengatakan, rumah budayawan YB Mangunwijaya, SJ dipilih sebagai lokasi kegiatan dengan maksud untuk menularkan nilai-nilai tokoh yang telah menghasilkan ratusan tulisan tersebut. Ke depan, kegiatan ini diharap bisa menjadi awal gerakan menulis di kalangan generasi muda. " Untuk kali pertama ini kami ingin menularkan kesederhanaan dan proses kreatif penulisan tokoh besar tersebut," ujarnya.

Selama lima hari berlangsung, kegiatan diisi dengan pelatihan menulis kreatif yang menghadirkan sejumlah tokoh bidang penulisan sebagai narasumber serta pameran 1.000 tulisan anak Yogyakarta yang pernah diterbirkan di media massa . Hadir sebagai peserta dalam kegiatan tersebut sejumlah novelis muda Yogyakarta yang telah menerbitkan tiga novel Zheitta Vazza Devi (18).

Vazza, demikian gadis yang selalu menggunakan alat bantu dengar itu dipanggil, berharap agar pemerintah dan masyarakat lebih banyak memberi ap resiasi pada para penulis muda. Apresiasi ini bisa diwujudkan dengan lomba penulisan maupun komunitas penulis muda. "Apresiasi sangat penting untuk merangsang anak muda untuk terus berkarya," katanya.

Selain itu, ujar Vazza dengan suara cadel, orangtua maupun guru juga perlu memberi ruang agar kreatifitas anak bisa terus berkembang. Selama ini, ruan g kreatifitas anak di luar aktifitas sekolah cenderung dibatasi dengan berbagai tuntutan akademis dan sekolah. [ IRE. Editor: ono ]



http://oase.kompas.com/read/xml/2009/10/25/20515213/Penulis.Muda.Belum.Memperoleh.Perhatian.