Kemandirian Ekonomi Sebatas Mimpi

Kemandirian Ekonomi Sebatas Mimpi
Minggu, 16 Agustus 2009 | 00:45 WIB


Oleh: Djauhari Effendi

Tema itu lagi-lagi dikumandangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Ke 64 di gedung DPR RI, Jumat (14/8).

SBY berjanji, pemerintah ke depan akan lebih memperkuat ekonomi dalam negeri maupun pasar dalam negeri sebagai sumber pertumbuhan nasional, tidak boleh hanya menggantungkan kekuatan ekspor.

"Strategi yang hanya bersifat export oriented tentu bukanlah pilihan kita," kata Presiden.

Kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi tertentu harus terus diperkuat, terutama pangan dan energi. Ekonomi nasional mesti dikembangkan berdasarkan keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif.

"Diperlukan ekonomi nasional yang dilandasi mekanisme pasar untuk efisiensi, tetapi juga memberikan ruang bagi peran pemerintah yang tepat untuk menjamin keadilan," katanya.

Janji itu serasa tak akan berarti jika fakta di lapangan malah menujukkan sebaliknya. Sebab sampai kini kita belum sepenuhnya berhasil menjadi suatu bangsa yang mandiri. Simak saja, setidaknya tiga sektor yang menggambarkan keterkungkungan ekonomi dalam negeri, yaitu masalah pangan, energi, dan masalah keuangan.

Dalam bidang pangan, ketergantungan akan produk luar negeri masih dominan, mulai dari gandum, kedelai sampai susu sekalipun. Sementara liberalisasi di sektor energi, tak hanya membuat ladang-ladang minyak dan gas nasional di dominasi asing melalui kontrak karya, namun juga merambah sampai sektor hilir, dimana sebentar lagi kita akan melihat puluhan bahkan ratusan SPBU asing beroperasi di sini.

Di sektor keuangan khususnya perbankan, kepemilikan asing sudah mulai mendekati angka berimbang dengan perbankan lokal dan BUMN.

Kini, kurang lebih 40% aset perbankan sudah berpindah menjadi milik asing, setelah kepemilikan bank oleh asing diberbolehkan hingga 99% pada 1998.

Dari sisi makro ekonomi, pengamat kebijakan publik Ichsanurdin Noorsy juga mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi bangsa Indonesia.

Ia melihat keterjajahan itu dari dominannya paradigma utang luar negeri sebagai indikator pembangunan pada pemerintah saat ini. Paradigma tersebut merupakan upaya pelanggengan kekuasaan dari pemerintahan saat ini yang dipegang oleh kalangan pengusaha. "Dengan bahasa saya, pemerintah Republik Indonesia menyetujui kekuatan di dalam negeri ditentukan oleh kekuatan modal di luar negeri, " tandasnya.

Saat ini posisi utang luar negeri sebesar 147,78 juta dollar AS per triwulan I 2009 atau dengan rasio terhadap GDP sebesar 29,1%. Angka ini sering disebut sebuah pencapaian yang aman dan telah berhasil menurunkan besarannya secara konsisten dibanding tahun tahun sebelumnya. Namun bila dilihat dari indikator DSR (debt service ratio), angkanya meningkat dari 19,4% pada 2007 menjadi 25,5% pada 2008. Ini menunjukkan tekanan yang makin berat terhadap kesinambungan fiskal, dan dengan demikian sangat riskan terhadap upaya membangun ketahanan ekonomi.

Direktur Eksekutif Indef M Ikhsan Modjo bahkan menilai, nasionalisme ekonomi sedikit banyak sudah terkikis saat ini. Ini ditandai aset-aset kita dijual kepada pihak asing. Banyak dari penjualan ini, tidak lebih dari sekadar upaya menjual aset untuk kepentingan segelintir orang, sehingga sangat berbahaya.

Di sisi lain, nasionalisme ekonomi jangan diartikan secara sempit, yakni pengelolaan aset-aset strategis sekadar diberikan kepada pihak domestik, walau bisa jadi pihak domestik itu tidak lain dan tidak bukan adalah segelintir pengusaha tertentu yang mendapatkan fasilitas dan permodalan sesungguhnya dari pihak asing juga.

Pembangunan nasionalisme ekonomi bisa dibina dengan membangun pribadi unggul, yang siap berkompetisi baik di dalam maupun di luar. Dengan adanya prbadi-pribadi unggul. Nasionalisme ekonomi ke depan akan mendapatkan satu kerangka yang lebih kuat dan mampu menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi yang menyejahterakan semua di masa depan.

Pembalikan Paradigma

Terkait memanfaatkan kekuatan ekonomi dalam negeri pemerintah pun harus memberikan insentif bagi para pengusaha dan pelaku industri. "Jangan hanya mengimbau," kata ekonom Indef Aviliani.

Pemerintah saat ini telah membalikkan paradigma ekonomi yang dulu melihat ke luar dan saat ini berbalik ke dalam negeri. "Berbagai negara sekarang melakukan inward looking (melihat ke dalam) dengan melakukan proteksi dan itu akan diikuti Indonesia," katanya.

Dengan kondisi saat ini, di mana perekonomian yang sudah terlanjur berorientasi global dengan berbagai penerapan pajak yang kecil bahkan nol persen memang susah untuk merubah paradigma tersebut.

Namun, pemerintah harus mulai memikirkan dan memperhitungkan kembali kebijakan perindustrian dan perdagangan untuk melihat kembali kemampuan dari dalam negeri.

Salah satu strategi yang perlu diterapkan misalnya menambah kesempatan di dalam negeri dan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga mampu menyerap berbagai produk yang dihasilkan dari dalam negeri.

"Untuk itu perlu insentif fiskal dan penyediaan anggaran dari APBN untuk mendukung program ini," harap Aviliani.

Insentif ini diberikan kepada pelaku yang bisa memanfaatkan berbagai bahan baku dari dalam negeri dan bisa mengembangkan pasar domestik.

Dengan kondisi ini, menurut Aviliani, apa yang diharapkan presiden tentang kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi tertentu harus terus diperkuat, terutama pangan dan energi bisa akan terwujud.

Ketahanan Ekonomi

Soal daya tahan ekonomi suatu negara tak pernah menemukan formulasinya yang utuh. Banyak vairabel makro dan global berinteraksi satu sama lain, yang pengaruhnya tidak bisa didefinisikan secara sahih terhadap suatau kejadian guncangan ekonomi. Ini juga membaca wacana yang terkadang sulit dipertemukan antara pertimbangan akademik (teknokratik) dengan pertimbangan pennyusunan kebijakan. Di sisi lain pandangan pelaku pasar cenderung lebih pragmatis dan dinamis dalam menilai ketahanan ekonomi suatu negara.

Meski demikian ada sejumlah indikator yang bisa dijadikan referensi terkait dengan ketahanan ekonomi. Ahmad Erani Yustika dan M Ikhsan Mojo dari Tim Indef merekomendasikan sejumlah hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, ketahanan dan kesinambungan fiskal. Kritik terhadap indikator utama ketahanan (soundness) dan kesinambungan (sustainability) fiskal berupa rasio utang pemerintah (public debt) terhadap GDP banyak dilontarkan kalangan akademisi maupun praktisi. Indikator ini banyak mendatangkan missleading dalam mengukur sejauh mana kemampuan negara dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keuangannya.

Kedua, pengendalian defisit anggaran. Dimana defisit anggaran terkendali harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara, bukan pada sisi pengeluaran. Karena itu indikator yang harus dicermati adalah neraca pembayaran yang harus ditopang peningkatan fundamental ekonomi, utamanya ekspor dan investasi langsung. Ini berimplikasi pada tuntutan kebijakan yang terintegrasi dengan implementasi sektoral yang terkoordinasi.

Di tengah ketidakpastian lingkungan eksternal saat ini, upaya peningkatan ekspor harus diarahkan pada dua pendekatan, yaitu diversifikasi komoditas dan tujuan ekspor. Struktur industri harus dibangun di atas kekuatan domestik yang berorientasi ekspor. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong ketahanan sektor moneter melalui penumpukan devisa, meredam volatilitas mata utang (nilai tukar dan inflasi) serta besaran suku bunga yang realistis.

Ketiga, pengendalian suku bunga, dimana suku bunga tinggi sangat riskan mengancam ketahanan ekonomi masalahnya adalah sejauh mana sebuah negara mampu menekan inflasi sehingga dapat menurunkan suku bunga pinjaman dan memelihara preferensi investor.

Muaranya adalah sejauh mana sektor riil bertumbuh dan menghasilkan nilai tambah ekonomi. Sepanjang sektor riil tidak bangkit, maka skenario inflation targeting dalam kerangka kebijakan moneter akan mandul dan transmisi suku bunga acuan ke suku bunga komersial tidak akan efektif.

Keempat, ketahanan sektor keuangan, dimana sektor ini menjadi pintu masuknya terjadinya guncangan ekonomi. Ketahanan sekto keuangan berkait dengan fungsi fungsi pendanaan, investasi dan likuiditas secara efektif dan esifien termasuk penerapan maanajemen berbasis risiko di lembanga lembaga keuangan maupun perbankan. Kegagalan sistem dan fungsi keuangan/perbankan dapat menimbulkan risiko ekonomi mendalam.

Kelima, ketidakpastian eksternal. Penulihan ekonomi negara maju pasca krisis global, masih dipertanyakan efektifitasnya, kapan, secapat apa dan dampaknya bagi keuangan negara negara dengan dampak terbesar akibat krisis. meski berbagai sumber menyebut perekonomian AS mulai pulih 2010, namun fenomena mutakhir yang terjadi makin menunjukkan kesanksian itu. pengangguran makin meningkat dan banyak korporasi menutup usahanya.

Bagi perekonomian nasional, yang patut diwaspadai adalah aliran investasi portofolio yang dapat menganggu neraca modal dan finansial bilamana terjadi pembalikan pasar. Kondisi ekonomi nasional yang relatif tidak terkena dampak krisis finansial global menjadi incaran para fund manager asing. Di sisi lain keadaaan ini dapat dimanfaatkan untuk menggenjot investasi langsung dan penguatan ekspor.*


Berita Terkait
Bahasa Adalah Kepribadian Bangsa
Perekonomian yang Masih Terjajah
Sidang Terhormat Itu Tanpa Indonesia Raya
Demi Kejayaan Indonesia
TimVerifikasi Tak Tegas


























7




Sumber:
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=c746c52c4c3f89696680731b2f46e563&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5